Senja di Jalan Salemba


Kau ingat senja yang kita nantikan hari itu?

Setelah keluar masuk toko buku, kita akhirnya berhenti di sebuah kedai minuman di Jalan Salemba.

Udara segar karena hujan belum lama reda, meski matahari kembali muncul dari balik mendung yang masih menggantung. Berkas sinarnya menerobos masuk melalui jendela kedai itu dan menghangatkan siapa pun yang ada di dalamnya.

Beberapa lama kita membisu, mencoba mengatur detak jantung sembari rebah di pelukan sofa yang hangat. Para waitress sibuk mencatat pesanan sambil sesekali bercengkerama dari balik sebuah meja panjang.

Pengunjung lain, seorang wanita paruh baya yang duduk di salah satu sudut ruangan, juga tak berkata-kata. Senyumnya terkembang hanya saat menyebutkan pesanan.

*

Semua ada masanya, termasuk keindahan.

Mataku berkali-kali meliriknya, dan beberapa menit kemudian setelah sadar, kumaki diriku sendiri atas kecerobohan itu. Terus-terusan melirik orang yang tak kita kenal bisa dianggap kurang ajar, bukan?

Usia wanita itu tak lagi muda, mungkin baru awal 50-an tahun. Gaya berpakaiannya jauh dari kesan mencolok, kecuali warna merahnya yang sulit diabaikan siapa pun yang ada di kedai itu.

Ia tampak anggun sekaligus berani dengan busana merah itu, apalagi rambutnya yang cokelat disisir rapi dan diikat dengan gaya high ponytail.

Wajahnya datar, meski matanya tampak menikmati kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan.

Sesekali kusesap kopi yang kupesan dan, agar tak ketahuan terus memperhatikannya, kuambil buku yang baru kubeli dan kubuka entah halaman berapa.

Mataku bisa berhenti menatapnya, tapi isi kepalaku seperti terus mencari tahu tentangnya, juga tak henti menebak-nebak isi hatinya.

Apa ia menunggu seseorang? Apa ia biasa menghabiskan waktu seorang diri? Apa ia senang menikmati sore dengan suasana yang bisa membangunkan kenangan seperti saat itu?

Aku mengalihkan pandangan saat menyadari seorang waitress melenggang dan mengantar pesanannya: Secangkir teh melati.

“Terima kasih,” ujarnya setelah waitress mempersilakan. Sekali lagi sesungging senyum menghiasi wajahnya.

Bukan hal mudah mengabaikan kehadiran wanita itu. Dan setelah gagal menyelamatkan diriku agar tak mengulangi kebodohan yang sama, untuk pertama kalinya, paras cantik itu tarantuk tatapanku.

Sepersekian detik kemudian kami pun beradu pandang.

*

Aku terus menikmati kehadiran wanita paruh baya itu sambil membayangkan detail-detail riasan wajahnya, harum parfum yang digunakannya, juga cara berbicaranya yang anggun dan memikat.

Sayup-sayup tembang Sleeping Trough My Fingers milik ABBA terdengar dari sebuah gramofon lawas. Sebuah lagu yang kupaksa menggambarkan isi hatiku sore itu.

Slipping through my fingers all the time
I try to capture every minute
The feeling in it
Slipping through my fingers all the time
Do I really see what’s in her mind?
Each time I think I’m close to knowing

Mata wanita itu masih menerawang ke jalan, ke pucuk-pucuk gedung di kejauhan. Sesekali tangan kanannya meraih teh di hadapannya dan memutar-mutarnya perlahan.

Tak salah lagi, ia menikmati lagu itu; sebuah lagu yang populer di masa yang sama dengan tahun-tahun remajanya. Mungkin karena ada cerita tentang dirinya dan seseorang, dan lagu itu adalah senandung yang pernah menjadi latar. Mungkin juga itu sekadar lagu yang pernah ia suka.

*

Sederet tembang lawas terus terdengar di kedai minuman yang tak seberapa luas itu. Seiring waktu yang berjalan, kursi-kursi yang sebelumnya kosong terisi. Bisik-bisik, sayup suara, dan langkah waitress yang mondar-mondir melayani pengunjung memenuhi isi ruangan.

Matahari pun mulai redup, sinarnya tak lagi menghangatkan sudut-sudut kedai itu. Yang tersisa hanya sapuan merah di pucuk-pucuk gedung yang menjulang.

Aku tercenung beberapa saat. Belum lama cahaya matahari menembus sela-sela gedung, memantul di kaca-kaca kendaraan, dan jatuh di lantai kedai itu, kini yang tersisa hanya warna merah yang pudar di kejauhan.

Aku tetap bisa menikmati warna itu, detik demi detik sebelum gelap menggantikannya. Mungkin karena hasrat itu juga, aku tak ingin melewatkan keindahan yang sama di wajah wanita berbusana merah itu.

Keindahan yang tak lekang oleh usia, di antara lagu-lagu nostalgia dan senja di Jalan Salemba.***

Hari Baru


Assalamualaikum, Nabil.

Kau sehat, Nak? Alhamdulillah, Ayah dan Ibu sehat selalu.

Bagaimana ngajimu? Sudah berapa bait Alfiyyah yang kauhafalkan?

Jangan lupa, kau harus mulai mencicilnya dari sekarang. Fathul Qarib bagaimana, apa ada masalah? Sharaf? Tafsir?

Bukan maksudku menginterogasimu. Aku cuma ingin tahu perkembangan belajarmu.

Jawab saja apa adanya, tak perlu takut. Aku dan ibumu juga pernah ada di posisimu, dan kami tak selalu baik-baik saja.

Kalau kau tak menemui masalah dalam belajarmu, bersyukurlah, sebab artinya Allah telah memudahkannya. Kalau kau menemuinya, bersabarlah, itu juga bentuk lain dari cinta kasih-Nya.

Kau boleh tertinggal untuk urusan pelajaran (jangan terlalu dipikirkan!), tapi aku harap kau selalu menjaga adab pada guru-gurumu. Kata Kyaiku, adab itu nomor satu. Pandai kira-kira nomor dua puluh tujuh.

Sekarang hari Kamis, 9 September 2021. Hari yang cerah setelah sore hingga malam kemarin hujan deras mengguyur Jakarta.

Sewaktu aku melintas di jalanan pagi tadi, genangan masih terlihat di mana-mana. Daun-daun terlihat segar, rumput-rumput seperti bergembira menyambut pagi yang hangat.

***

Dua hari kemarin aku kembali berbincang dengan ibumu.

Setelah sepuluh tahun menyunting naskah, mengoreksi, mem-proof, membuat konsep desain, merancang judul buku, sampai mempromosikan dan membantu memasarkan buku, kini tiba saatnya aku berpikir tentang kemungkinan melanjutkan perjalanan.

Sebuah pilihan yang tidak mudah.

Hari ini setelah jam makan siang, aku akhirnya duduk di ruang yang biasanya kugunakan untuk meeting bersama teman-teman.

Hanya kali ini aku berbincang empat mata dengan atasanku. Detik demi detik terasa sangat lambat.

Baca juga: Ketidakpastian Tak Semenakutkan Itu

Ada banyak yang kami bicarakan. Mulai tugas harianku, hambatan-hambatan yang sedang kuhadapi, sampai rencana ke depan.

Kujawab semua apa adanya, termasuk kenekatanku meninggalkan pekerjaan yang dulu pernah kuidam-idamkan ini: editor.

Ya, kalau kau belum pernah mendengar, aku pernah sangat mendambakan diriku menjadi editor buku. Sebuah pekerjaan yang menurutku keren tapi pada saat yang sama “gelap”, sebab tak banyak yang kutahu dan hanya sedikit orang yang bisa kutanya-tanya tentangnya.

Aku tak ragu mengatakan bahwa dari sekian banyak pengalaman, menjalani pekerjaan ini adalah salah satu yang paling kusyukuri.

Sepuluh tahun menjadi editor, banyak asam-garam yang sudah kukecap.

Setidaknya sebelum dua tahun yang lalu, aku tak menyangka akan tiba hari ketika aku memikirkan kembali kesibukanku, mencermati kemungkinan yang lain, dan bukan mustahil memilihnya.

Berat rasanya meninggalkan sesuatu yang bukan hanya kaucintai tapi juga kaujaga kesetiaanmu padanya.

Entah sama atau tidak, tapi melirik pekerjaan baru sama berbahayanya dengan melirik seorang wanita yang baru kaulihat.

Ini hanya ibarat. Ibumu tak perlu tahu.

***

Aku tak tahu apa yang akan mengejutkanku di depan nanti. Tapi dalam hidup kita, selain jalan menanjak juga ada jalan menurun, bukan?

Aku mungkin akan mengkhawatirkan banyak hal, tapi seperti yang sudah-sudah, Anakku, aku akan percaya pada-Nya.

Bukan hanya kali ini aku berada dalam situasi yang tak bisa kurekayasa. Jadi, untuk urusan berpasrah pada-Nya, aku sudah punya pengalaman.

Aku jadi ingat, dulu sewaktu masih tinggal di pesantren sering aku menemui situasi yang tak menyenangkan dan celakanya tak bisa kuhindari.

Kau mungkin sudah beberapa kali ada dalam situasi seperti itu, jadi tak perlu kujelaskan panjang-lebar.

Baca juga: Menyederhanakan Kebahagiaan

Yang pasti, serumit apa pun masalah yang kita hadapi, seburuk apa pun situasi itu membekap kesadaran kita, jika sudah waktunya selesai, akan selesai.

Sama dengan angin puyuh, jika saatnya tiba ia akan memporak-porandakan segala yang ada di jalur lintasannya. Tapi jika sudah saatnya reda, ia akan tenang dengan sendirinya.

Lama-lama aku jadi ingat Gus Dur. Katanya, kalau kau menghadapi masalah yang masih bisa kauatasi, ya atasi saja, nanti akan selesai.

Jika kau menemui kesulitan yang tak bisa kauatasi, biarkan saja, nanti akan selesai sendiri.

Hidup kita pendek, Nak.

Jangan habiskan untuk terus-terusan mengkhawatirkan sesuatu. Apalagi sesuatu yang Allah sudah mengatur dan menjaminnya, seperti urusan rezeki.

Kita mengaku percaya pada Allah, tapi pada saat yang sama masih khawatir besok kita makan apa.

Kata Mbah Tedjo, itu sama saja dengan menghina Tuhan.

Sudah ya, aku pulang dulu.

Mendung terlihat semakin tebal, aku takut hujan segera turun.

Satu Yang Tersisa


Saya tahu, kapan pun dan di mana pun kita bisa kehilangan apa pun yang kita miliki.

Pekerjaan yang kita idamkan, kesempatan untuk bersua dengan keluarga, mungkin juga hidup dan cerita-cerita bahagianya.

Saya membuat tulisan ini ketika kasus infeksi Covid-19 di Indonesia sedang berada di puncak. Cerita tentang pasien isolasi mandiri yang meninggal kesepian di kamarnya berseliweran di beranda media sosial, demikian pula kisah pilu pasien-pasien yang tak tertolong karena kehabisan tabung oksigen.


Bencana ini benar-benar membuat kita tak berjarak dengan kematian, sekaligus memaksa kita terus mendekat pada Tuhan.

Kadang saat terjaga dari tidur pikiran saya berkeliaran membayangkan hal-hal buruk. Tentang istri saya yang sedang mengandung, tentang Nabil, juga tentang saudara-saudara dekat saya. Sering saya bergidik dan buru-buru memalingkan pikiran pada hal lain yang menyenangkan.

Baca juga: Ketidakpastian Tak Semenakutkan Itu

Jika pandemi ini terus memburuk dan memporakporandakan impian yang ditata berjuta-juta orang di muka bumi ini, mungkin hal baik yang tersisa dalam hidup tiap orang hanya itu: Pikiran tentang sesuatu yang menyenangkan.

Entah dalam bentuk kenangan atau keyakinan.

Yaa amaanal khooifiiin, aaminnaa mimmaa nakhoof.
Yaa amaanal khooifiin, sallimnaa mimmaa nakhoof.
Yaa amaanal khoo’ifiin, najjinaa mimmaa nakhoof.

Kontroversi


Gagasan baru kadang menawarkan sudut pandang yang unik. Bagi sebagian orang, itu menarik. Bagi sebagian yang lain, itu menantang. Bagi sebagian yang lain lagi, itu ngawur.

Source: pexel.com

Saya bersyukur pernah mempelajari agama di lingkungan yang tepat. Tentu saya gak otomatis jadi orang baik, tapi minimal itu menghindarkan saya dari salah paham terhadapnya, terutama di era banjir informasi seperti sekarang.

Seperti kita tahu, informasi yang bertebaran di media sering membuat kita bingung membedakan mana fakta dan opini. Mana kenyataan dan hoax.

Saya sering mendengar kontroversi seputar isu yang bersangkut-paut dengan agama. Yang terbaru adalah disertasi tentang pendapat Muhammad Syahrur, seorang pemikir muslim Suriah, tentang hubungan seksual di luar nikah.

Saya gak akan membahas disertasi atau kontroversi seputar disertasi itu. Saya belum membacanya.

Saya hanya ingin menyampaikan bahwa pada setiap masa selalu ada gagasan-gagasan yang kontroversial. Kita bebas menentukan sikap terhadapnya, mau mendukung atau menolak. Bagaimanapun tiap orang akan dimintai pertanggungjawaban sendiri-sendiri atas sikapnya itu, bukan?

Saat pertama disampaikan, Islam juga membawa sudut pandang yang baru. Itu sebabnya, pada masa-masa awal penyebarannya, agama yang indah ini memantik kontroversi. Menariknya, sudut pandang baru itulah yang menang, dan kontroversi tersebut perlahan pudar. Kita yang hidup di abad ini pun bisa melihat keindahannya.

Jadi, soal kontroversi disertasi itu, mari tunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuan kita dengan cara yang bijaksana. Gak usah berlebihan. Ingat, jika setiap ada gagasan baru dan berbeda kita marah-marah, kita sendiri yang nantinya capek.

Paradoks Agama


“Kalau kau mengira kita baik-baik saja, kau mungkin butuh waktu untuk berpikir lebih seksama.” Ramadan tampak kecewa dengan tanggapanku. Matanya melirik, lalu memalingkan wajah ke trotoar tempat orang berlalu-lalang.

Photo by Noelle Otto on Pexels.com

“Coba perhatikan. Dua ulama di Iraq saling memaki di hadapan jamaah masing-masing. Sekelompok pemuda di Mesir mencegat dan mengancam arak-arakan pemuda lain yang akan berdemo. Kampanye sektarian menjadi trending topic di media sosial. Lalu, ibu-ibu pengajian menjadi malas ke masjid karena menonton infotainmen.”

“Bukankah itu soal biasa? Maksudku, kita sudah sering mendengar semua itu, kan?” Aku hati-hati bertanya. Kopi yang kupesan kubiarkan begitu saja di atas meja.

“Biasa? Kau pernah membayangkan akibat paling buruk dari semua itu? Seorang wanita Sunni di Najaf meratapi jenazah anaknya yang tinggal separuh karena menginjak ranjau yang ditanam oleh pemberontak Syi’ah. Di Kairo, sekelompok pemuda membakar hidup-hidup temannya sendiri karena mencurigainya sebagai mata-mata Ikhwanul Muslimin.

Akhir tahun lalu, sejumlah massa di Sampang membakar sebuah masjid karena dicurigai menyebarkan ajaran Syi’ah. Di komplek tempat tinggalku, majelis taklim ibu-ibu buyar gara-gara ada yang membicarakan gosip tentang seorang ustaz seleb sementara yang lainnya tak terima.”

“Wah … Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah dengan kita?”

“Itulah. Jangan-jangan selama ini kita merasa baik-baik saja. Orang-orang yang mengaku teman pun mengatakan kita tak sedang dalam masalah.

“Segala kemungkinan buruk seakan berdiri jauh dari tempat kita berpijak. Seolah ada laut lepas yang memisahkan kita dengannya. Padahal, diam-diam sel kanker sudah menyebar di tubuh kita dan terus menggerogotinya.”

“Maksudmu?” Aku tak paham dengan kata-kata Ramadan.

“Kebodohan adalah sel kanker yang menciptakan permusuhan di antara kita. Jika tak menyadarinya, apalagi jika kita merasa sehat dan terbebas darinya, penyakit itu akan cepat menyebar dan menggerogoti tubuh kita. Kalaupun tak mati, kita mungkin seperti mayat hidup yang bergantung pada berbagai macam obat.”

Ramadan menatap langit, lalu menumpukan pandangannya pada sebuah kubah masjid yang seluruh bangunannya nyaris tertutup ruko dan perkantoran.

“Kau lihat kubah masjid itu?”

Aku mengangguk. Sinar matahari yang menghantam permukaannya menciptakan warna keperakan yang menyilaukan mata.

“Bentuk kubah memang tak selalu sama. Kadang berbentuk limas, kadang umbi bawang. Yang pasti, keduanya sama-sama memiliki puncak yang runcing. Ilmu dan kebijaksanaan itu luas, seperti dasar kubah yang lebar. Tapi, setiap tetes ilmu dan kebijaksanaan akan membawa kita pada satu realitas puncak: Tuhan.”

“Aku suka perumpamaanmu. Tapi …. terus terang aku masih bingung dengan yang kau bicarakan.”

Seperti biasa, aku ngos-ngosan mengikuti jalan pikiran sahabatku itu. Konflik sesama umat Islam, sel kanker, kebodohan, dan kubah masjid. Ini seperti sobekan-sobekan kertas yang tak beraturan, apalagi bermanfaat. Aku harap, kali ini Ramadan tak sedang membicarakan diriku. Berbincang dengan orang tua itu seperti berjalan di hutan yang penuh jebakan.

“Seandainya kita mengerti bahwa ilmu yang Tuhan turunkan ke dunia ini sangat banyak dan masing-masing bisa membuat mereka yang mempelajarinya tampak berbeda, api permusuhan tak akan pernah menyala. Sebab, kita juga akan memahami bahwa ilmu-ilmu tersebut akan mengantarkan kita pada kesimpulan yang sama tentang hakikat semesta raya.

“Seandainya pula kita tak sanggup memahami hal itu, selama kita tetap merendahkan hati dan mau terus dan terus belajar, pertikaian juga tak akan pernah terjadi. Orang yang rendah hati tak akan memandang dirinya yang paling benar, paling baik, atau paling suci. Sementara itu, orang dengan benih kesombongan di dalam dadanya akan cenderung merendahkan sesamanya.

“Manusia adalah makhluk mulia yang tercipta karena cinta dan kerinduan Sang Pencipta. Kalau Dia memuliakan mereka, bagaimana mungkin kita mengaku hamba-Nya, jika pada saat yang sama kita merendahkan mereka? Tapi, aku kira kau mengerti, kesombongan memang musuh bebuyutan ilmu dan kebijaksanaan.”

Ramadan menutup kata-katanya sambil menyunggingkan senyum. Matanya masih menatap tajam. Tak lama, azan maghrib terdengar dari masjid yang terletak beberapa blok dari tempat kami berbincang. Semburat merah di ufuk barat mengingatkanku pada sisa waktu yang masih tersedia.

Ciganjur, 26 Juni 2014

Manuscript Found in Accra


“Kalah dalam suatu pertempuran atau kehilangan apa yang kita sangka merupakan milik kita akan menyeret pada momen yang penuh kesedihan. Tapi ketika momen itu berlalu, kita akan menemukan kekuatan tersembunyi di dalam diri, sebuah kekuatan yang mengejutkan dan meningkatkan harga diri kita.

Photo by Matheus Bertelli on Pexels.com

Kita akan melihat sekeliling dan berkata pada diri sendiri, “Aku selamat.” Kita pun terhibur dengan kata-kata itu.

Hanya mereka yang tak mampu mengenali kekuatannya yang terpendam yang akan berkata, “Aku kalah,” dan bersedih.

Orang lain, meski kalah dan merasa dipermalukan oleh kata-kata mereka yang menang, akan mengizinkan dirinya menitikkan air mata tapi menolak untuk mengasihani diri sendiri. Mereka mengerti bahwa itu hanyalah jeda di tengah pertempuran dan bahwa, untuk sementara, mereka sedang tidak beruntung.

Mereka mendengarkan detak jantungnya sendiri. Sadar sedang khawatir, takut. Akan tetapi, mereka kemudian memperhatikan hidup dan menyadari, di balik ketakutan yang mereka rasakan, keyakinan mereka masih menyala di dalam jiwa, mendorong dirinya untuk terus bergerak ke depan.”

Paulo Coelho, Manuscript Found in Accra, 17-8

Ketidakpastian Tak Semenakutkan Itu


Kalau mau jujur, sebenarnya kita sudah terbiasa menghadapi hal-hal yang tak pasti.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, kita tak tahu hukuman apa yang sudah disiapkan oleh guru matematika jika kita gagal mengerjakan soal darinya. Setelah remaja dan mulai berani mendekati lawan jenis, kita sering bertanya-tanya isi hati orang yang kita sukai. Apakah dia punya perasaan yang sama atau biasa-biasa saja, sebab kita “terlalu baik untuknya”.

Unsplash.com

Soal pendidikan tinggi dan karier juga sama, begitu pula tempat tinggal, kedekatan dengan orangtua, pertemanan, bahkan sekadar memastikan apa yang akan terjadi esok hari pun kita tak mampu. Kita hanya bisa menebak-nebak dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapinya.

Namun, berkali-kali menghadapi ketidakpastian ternyata tak membuat kita terbiasa dengannya. Kita masih sering terkejut, khawatir, kadang bahkan pesimistis.

Mekanisme Emosi

Kita sepakat bahwa itu sesuatu yang wajar, apalagi jika yang kita khawatirkan nyata dan masuk akal. Tapi, berkaca pada pengalaman saya selama ini, munculnya perasaan tidak nyaman seperti itu sebenarnya adalah bagian dari mekanisme emosi kita saat menghadapi sesuatu yang tak bisa kita kendalikan.

Coba ingat, kita sering merasa nervous, cemas, atau stres tatkala kita tidak bisa mengendalikan sesuatu, lebih-lebih memastikannya berjalan sesuai harapan kita. Kalau kita bisa mengendalikannya, apalagi memastikan bahwa semuanya “aman”, sedikit kemungkinan kita terpikir yang tidak-tidak.

Artinya, dalam menghadapi ketidakpastian, pengalaman kita yang bejibun bukanlah tolok ukur yang relevan dan bisa menjamin bahwa kita tidak kebingungan menghadapinya. Meski mungkin pengalaman tersebut bermanfaat karena membuat kita sedikit lebih tenang.

Bagaimanapun grogi saat pertama kali naik pesawat tentu lebih dahsyat rasanya dibandingkan kali kedua, ketiga, dan seterusnya.

Ketika saya nervous, pikiran saya kacau. Saya sulit berpikir jernih, apalagi jika pada saat-saat genting itu saya melupakan sesuatu yang seharusnya saya ingat di luar kepala. Saya pernah menonton video seorang pengantin pria menjadi bahan tertawaan karena lupa bagaimana mengucapkan kalimat akad.

Ketika puluhan pasang mata secara bersamaan melihat diri kita, kita akan mudah terserang nervous. Ketika nervous, kita kehilangan kendali. Kita pun merasa bahwa semua seperti berjalan tanpa aturan, termasuk diri kita sendiri.

Itu sebabnya, dalam video yang menunjukkan bahwa dirinya sedang dikelilingi oleh tamu undangan, mempelai pria itu lupa kalimat yang harus ia lafalkan. Mungkin lebih buruk lagi. Ia ingat, tapi lidahnya kelu, sehingga kata-kata yang ia ucapkan seperti igauan yang tak jelas.

Contoh lain yang lebih sering kita alami adalah saat selip lidah, yang sekian detik kemudian membuat kita khawatir dengan akibatnya. Saya pernah berbincang-bincang dengan ibu mertua di halaman rumahnya, sembari memandang tanaman dan bunga-bunga miliknya. Saat membahas topik tertentu saya mengucapkan kata-kata yang membuat percakapan kami terhenti beberapa lama: “Itu lidah mertua dibuang saja, Bu, biar agak rapi!”

Hanya Sementara

Setelah tumbuh dewasa dan berkali-kali muka kita ditempeleng oleh kenyataan pahit, kita sadar bahwa momen-momen seperti itu akan selalu menghampiri kita; bahwa kita tidak selalu bisa mengendalikan diri kita sendiri –apalagi mengendalikan hidup dan memastikan semuanya baik-baik saja. Dan ini adalah sesuatu yang harus dihadapi oleh siapa pun.

Baca juga: Khawatir Ini, Khawatir Itu

Kabar baiknya, sebagai bagian dari mekanisme emosi, khawatir hanyalah sementara. Ketika apa yang kita khawatirkan tidak terbukti, atau terbukti tapi tidak semengerikan yang kita khawatirkan, perlahan-lahan ia akan surut. Hati menjadi lega, pikiran berangsur jernih, dan kita merasa memegang kendali lagi.

Saya ingat betul, ketika dicekam ketakutan akan terjadinya sesuatu yang mengerikan, badan saya lemas dan keringat dingin bercucuran. Perasaan saya sangat tidak nyaman. Tapi, karena situasi tersebut di kemudian hari saya temui lagi, lagi, dan lagi, lama-lama saya merasakannya sebagai sesuatu yang biasa. Memang tetap mengkhawatirkan, tapi hati saya tahu itu tidak semenakutkan yang sebenarnya.

Bulan-bulan ini kita memasuki tahun kedua pandemi Covid-19. Tahun-tahun berjalan sangat lambat. Masker menutup wajah hampir semua orang, menyembunyikan kebosanan mereka akibat terkurung di rumah masing-masing dan terisolasi dari sanak keluarga. Bukan hanya peluang dan kesempatan yang entah ke mana perginya, hal-hal yang pada tahun-tahun sebelumnya adalah keniscayaan, sekarang menjadi ketidakmenentuan.

Berbagai ketidakpastian menghantui malam-malam kita, menjelma bayang-bayang yang mengerikan dan mengganggu waktu istirahat. Pandangan mata kita menyiratkan ketakutan akan hari-hari yang berat di depan. Kadang saat lapar (sekarang Ramadan 2021!) saya melamunkan masa depan dan menggambarkannya secara dramatis dengan trotoar, ransel yang berisi pakaian lusuh, dan dompet yang entah apa isinya: hidup menggelandang.

Namun, seperti saya bilang, sebagai sebuah mekanisme, kekhawatiran hanyalah sementara. Dan sebagaimana kekhawatiran-kekhawatiran yang telah lalu, apa pun yang kita hadapi di hari esok tak mungkin semenakutkan bayangan kita. Mungkin karena perasaan kita yang berlebihan menggambarkannya.

Namanya juga perasaan.

Sugeng Tindak, Mas


Sejak pagi mendung bergelayut di langit Depok. Bulan April sudah separuh jalan, tapi hujan sesekali masih datang.

Hari-hari ini kematian rasanya semakin dekat dengan siapa pun. Ambulans berlalu-lalang di jalanan. Sirinenya meraung-raung menerobos kemacetan.

Masjid-masjid berlomba mengumumkan kabar duka, bahkan tak lama setelah orang-orang baru membuka mata.

Mendengar berita kematian bukan lagi sesuatu yang aneh, kecuali menyangkut orang-orang terdekat.

Foto:  Julian Hochgesang 

Kemarin pukul 6 pagi kabar duka juga terdengar. Sayup-sayup berasal dari mushala yang entah masih mengadakan shalat jamaah atau tidak. Yang membuat saya terkejut adalah nama yang diumumkan: Mas Aziz.

Nama lengkapnya Abdul Aziz. Beliau saya kenal tidak lama setelah pindah ke Kukusan. Mungkin karena sama-sama dari Malang (kampung saya dan kampungnya hanya berjarak 15-an menit naik motor), kami jadi cepat akrab.

Baksonya menjadi santap siang favorit Nabil anak saya. Kata istri, kuahnya enak. Tapi saya duga, selain kuahnya yang memang sedap, istri saya berlangganan karena Mas Aziz sangat royal pada kami. Setiap kami membeli bakso, tak lupa ia memberi gratisan.

“Buat si kecil,” ujarnya, singkat.

Itu tidak hanya sesekali tapi sering, kalau tidak selalu. Tak heran, ketika istri saya beritahu kabar lelayu itu, matanya berkaca-kaca. Saya mengerti. Dibanding saya, istri saya lebih sering bertemu Mas Aziz.

Siang-siang saat ia berkeliling menjajakan baksonya, istri saya akan memanggilnya, menyampaikan pesanan sambil berbincang alakadarnya, membayar, lalu saling mengucapkan terima kasih.

Sesederhana itu, seperti kebiasaan antara penjual dan pembeli. Tapi, sepertinya keramahan dan ketulusan beliau menyentuh hati kami berdua.

Di tempat yang jauh dari kampung halaman, kami menemukan seorang saudara. Orang biasa, tapi berhati mulia.

Mulai hari ini dan seterusnya, kami tak akan lagi melihatnya keluar-masuk gang-gang kecil di Kukusan. Tak akan lagi kami menemuinya mangkal di depan masjid selepas shalat jamaah. Tak akan lagi kami mendengar sapaan hangatnya saat berpapasan entah di mana.

Dia hanya orang biasa yang kami kenal, bukan saudara, bukan pula orang yang kami anggap “penting”. Tapi, kebaikannya betul-betul membahagiakan kami sekeluarga.

Mas Aziz, maturnuwun untuk kebaikannya selama ini. Kelak ketika Nabil sudah bisa memahami, akan aku ceritakan semua kebaikan Sampeyan padanya.

Selamat jalan dan sampai jumpa, pulanglah dengan hati yang penuh ridha dan ketenangan.

Cinta Ayah


Sudah 2 tahun ini saya asyik bermain Twitter. Banyak hal baik saya dapatkan darinya, mulai informasi hingga pertemanan.

Saya mengenal orang dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan. Beberapa di antara mereka tak henti mengetuk-ngetuk hati saya dengan perjuangan hidupnya.

Ada seorang pengemudi Gojek (atau Grabbike, saya lupa) yang menghabiskan berjam-jam waktunya mencari nafkah di jalanan. Menembus terik siang dan derasnya hujan demi keluarga tercintanya, terutama anak laki-lakinya yang mengidap lupus.

Teman yang lain tak ketinggalan mencuit perjuangan para ayah yang tak mengenal lelah mencari uang untuk keluarganya. Ada yang menjadi sopir truk, ada juga yang berjualan nasi goreng, kue kering, katering kecil-kecilan, hingga bumbu dapur.

Di tengah kondisi sulit seperti sekarang, apa saja mereka lakoni demi menghidupi istri dan anak-anak mereka.

Baca juga: Untuk Anakku (1)

Sepintas lalu, apa yang mereka lakukan tampak biasa saja. Semacam naluri bertahan hidup untuk diri dan anggota keluarganya.

Tapi dalam agama kita, pengorbanan yang bersifat naluriah ini sangat diapresiasi.

Suatu ketika seseorang menghadap Rasulullah saw. Orang itu berkata bahwa dirinya telah melakukan dosa kepada Allah dan ingin disucikan oleh Rasulullah, maksudnya dimohonkan ampunan kepada Allah.

Mendengar permintaan itu, Rasulullah bertanya dosa apa yang telah dilakukannya.

“Saya malu mengatakannya,” jawab orang itu.

Rasulullah kecewa mendengarnya, lalu berkata kalau dia malu kepada beliau, mengapa dia tidak malu kepada Allah, padahal Allah selalu melihatnya.

“Pergi kamu, jangan sampai neraka diturunkan kepada kami akibat dosamu itu!” sabda Nabi.

Remuk hati orang tersebut mendengar perintah Rasulullah itu. Dia pun beringsut dengan perasaan kecewa, putus asa, dan bercucuran airmata.

Saat itulah malaikat Jibril menghadap Rasulullah dan bertanya, mengapa beliau membuat putus asa orang yang memiliki penghapus dosa-dosa.

“Apa penghapus dosa-dosanya?” tanya Nabi.

Malaikat Jibril menjawab, “Anak kecil.”

Baca juga: Untuk Anakku (2)

Ketika orang itu pulang ke rumahnya, seorang anak kecil menyambutnya. Orang itu lantas memberikan makanan atau benda lain yang sekiranya bisa membahagiakan hatinya.

“Ketika anak kecil itu bahagia, saat itulah dosa-dosa orang tersebut dihapus,” lanjut malaikat Jibril.

Cerita itu saya baca dalam buku Al-Mawa’izh Al-‘Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakr, sebuah kumpulan hadis dengan penjelasan berupa cerita-cerita inspiratif dari Rasulullah, sahabat, dan orang saleh.

Membaca hikayat itu, saya merasa terlibat dengan perasaan orang yang diceritakan –saya juga seorang ayah. Betapa indah perjuangan seorang kepala rumah tangga dan betapa besar cintanya pada sang buah hati.

Sekeras apa pun hidup menempanya, dengan berbagai dosa atau kesalahan yang mungkin dilakukannya, ia tak lupa membuat gembira anak-anaknya sewaktu pulang dan bertemu mereka.

Dan siapa sangka, perbuatan kecil yang menutup harinya itu menjadi pelebur dosa-dosanya.

Menghargai Kenangan


Saya sudah merasa, saat meninggalkan Jogja awal pekan ini, seperti ada yang berat di hati.

Awalnya saya abaikan, tapi karena penasaran saya cari tahu sebabnya dan saya temukan: Bahwa dua minggu ke depan akan menjadi saat-saat terakhir saya berada di Depok.

Photo by Jeswin Thomas on Pexels.com

Kota kesayangan yang sumpek. Seperti angkot-angkot dan ojek online di sepanjang Jalan Margonda, kenangan tentang segala yang pernah saya alami di kota ini berjejalan, semrawut, dan ada di mana-mana.

Di warteg-warteg sepanjang Jalan H. Usman, ruas-ruas jalan sempit menuju tempat kerja, gerai minimarket yang bertebaran di sana-sini, dan masjid-masjid yang mudah sekali ditemukan di sekitar tempat tinggal saya.

Sepuluh tahun yang lalu saya tidak menyangka bahwa suatu saat saya akan meninggalkan, juga merindukan, tempat ini. Namun sejujurnya, saya juga tidak punya bayangan akan selamanya menetap di sini. Harga tanahnya selangit, belum lagi harga rumahnya.

***

Saat ini pukul 14.06. Udara sejuk karena hujan yang tak kunjung reda. Menciptakan genangan yang penuh riak dan menghadirkan suasana yang sempurna untuk saya menikmati hari-hari terakhir di kontrakan. Di layar gawai, Ulul tak henti mengirim pesan tentang banyak hal yang juga saya rindukan.

Selama beberapa menit kami bertukar ingatan tentang detail-detail yang dulu kami anggap sepele dan sering kami biarkan berlalu begitu saja.

Kami rindu berbincang pagi-pagi saat baru tiba di ruangan, kelakar Mas Epeng yang tak henti mengundang tawa, curhat satu sama lain tentang masalah keluarga yang entah-kenapa-seperti-tak-ada-habisnya, dan sedikit gosip dengan bumbu tipis-tipis dari biangnya.

Ulul.

Siapa lagi?

Awal-awal resign, saya sudah merasa bahwa kalau suatu saat nanti saya merindukan tempat kerja, itu sebenarnya bukan merindukan pekerjaan lama saya, tapi suasana kantor dan keakraban para penghuninya.

Tadi Ulul menyampaikan hal yang sama. Dia bercerita kalau rasa kangennya itu bahkan sudah dia rasakan belum lama setelah resign.

Saya memang tipe orang yang melankolis, jadi saya tidak merasa aneh jika siang ini saya habiskan 15-20 menit waktu saya untuk menulis apa yang sedang saya rasakan terkait Depok, kontrakan yang saya tempati 5 tahun ini, dan publishing house di mana saya menghabiskan 10 tahun berjibaku dengan dunia yang pernah saya idamkan sejak lama.

Saya justru menikmatinya.

Memutar kembali ingatan tentang hari-hari yang saya anggap biasa dan tak istimewa. Sekadar untuk menyadari betapa berharganya hari-hari itu dan betapa saya, juga hidup saya seluruhnya, turut dibentuk oleh hari-hari yang telah saya lewati itu, juga nama-nama yang meramaikannya.

Sambil melayangkan pandang ke seantero ruang kontrakan, tunas-tunas kerinduan seperti bersemai sebelum waktunya. Dan tanpa terasa bayangan tentang semua yang pernah saya lakukan di kontrakan ini seperti diputar ulang.

Pagi-pagi saat saya berpamitan kepada istri dan anak saya untuk berangkat kerja, siang terik ketika istri saya memunguti cuciannya yang sudah kering dan jatuh tertiup angin, juga sore tatkala Nabil mondar-mandir di halaman dengan sepeda biru kesayangannya.

Semoga Allah memanjangkan umur saya dan teman-teman serta memberi kesempatan kepada kami, di hari-hari yang lebih indah, untuk bersua.