Kau ingat senja yang kita nantikan hari itu?
Setelah keluar masuk toko buku, kita akhirnya berhenti di sebuah kedai minuman di Jalan Salemba.
Udara segar karena hujan belum lama reda, meski matahari kembali muncul dari balik mendung yang masih menggantung. Berkas sinarnya menerobos masuk melalui jendela kedai itu dan menghangatkan siapa pun yang ada di dalamnya.
Beberapa lama kita membisu, mencoba mengatur detak jantung sembari rebah di pelukan sofa yang hangat. Para waitress sibuk mencatat pesanan sambil sesekali bercengkerama dari balik sebuah meja panjang.
Pengunjung lain, seorang wanita paruh baya yang duduk di salah satu sudut ruangan, juga tak berkata-kata. Senyumnya terkembang hanya saat menyebutkan pesanan.
*

Mataku berkali-kali meliriknya, dan beberapa menit kemudian setelah sadar, kumaki diriku sendiri atas kecerobohan itu. Terus-terusan melirik orang yang tak kita kenal bisa dianggap kurang ajar, bukan?
Usia wanita itu tak lagi muda, mungkin baru awal 50-an tahun. Gaya berpakaiannya jauh dari kesan mencolok, kecuali warna merahnya yang sulit diabaikan siapa pun yang ada di kedai itu.
Ia tampak anggun sekaligus berani dengan busana merah itu, apalagi rambutnya yang cokelat disisir rapi dan diikat dengan gaya high ponytail.
Wajahnya datar, meski matanya tampak menikmati kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan.
Sesekali kusesap kopi yang kupesan dan, agar tak ketahuan terus memperhatikannya, kuambil buku yang baru kubeli dan kubuka entah halaman berapa.
Mataku bisa berhenti menatapnya, tapi isi kepalaku seperti terus mencari tahu tentangnya, juga tak henti menebak-nebak isi hatinya.
Apa ia menunggu seseorang? Apa ia biasa menghabiskan waktu seorang diri? Apa ia senang menikmati sore dengan suasana yang bisa membangunkan kenangan seperti saat itu?
Aku mengalihkan pandangan saat menyadari seorang waitress melenggang dan mengantar pesanannya: Secangkir teh melati.
“Terima kasih,” ujarnya setelah waitress mempersilakan. Sekali lagi sesungging senyum menghiasi wajahnya.
Bukan hal mudah mengabaikan kehadiran wanita itu. Dan setelah gagal menyelamatkan diriku agar tak mengulangi kebodohan yang sama, untuk pertama kalinya, paras cantik itu tarantuk tatapanku.
Sepersekian detik kemudian kami pun beradu pandang.
*
Aku terus menikmati kehadiran wanita paruh baya itu sambil membayangkan detail-detail riasan wajahnya, harum parfum yang digunakannya, juga cara berbicaranya yang anggun dan memikat.
Sayup-sayup tembang Sleeping Trough My Fingers milik ABBA terdengar dari sebuah gramofon lawas. Sebuah lagu yang kupaksa menggambarkan isi hatiku sore itu.
Slipping through my fingers all the time
I try to capture every minute
The feeling in it
Slipping through my fingers all the time
Do I really see what’s in her mind?
Each time I think I’m close to knowing
Mata wanita itu masih menerawang ke jalan, ke pucuk-pucuk gedung di kejauhan. Sesekali tangan kanannya meraih teh di hadapannya dan memutar-mutarnya perlahan.
Tak salah lagi, ia menikmati lagu itu; sebuah lagu yang populer di masa yang sama dengan tahun-tahun remajanya. Mungkin karena ada cerita tentang dirinya dan seseorang, dan lagu itu adalah senandung yang pernah menjadi latar. Mungkin juga itu sekadar lagu yang pernah ia suka.
*
Sederet tembang lawas terus terdengar di kedai minuman yang tak seberapa luas itu. Seiring waktu yang berjalan, kursi-kursi yang sebelumnya kosong terisi. Bisik-bisik, sayup suara, dan langkah waitress yang mondar-mondir melayani pengunjung memenuhi isi ruangan.
Matahari pun mulai redup, sinarnya tak lagi menghangatkan sudut-sudut kedai itu. Yang tersisa hanya sapuan merah di pucuk-pucuk gedung yang menjulang.
Aku tercenung beberapa saat. Belum lama cahaya matahari menembus sela-sela gedung, memantul di kaca-kaca kendaraan, dan jatuh di lantai kedai itu, kini yang tersisa hanya warna merah yang pudar di kejauhan.
Aku tetap bisa menikmati warna itu, detik demi detik sebelum gelap menggantikannya. Mungkin karena hasrat itu juga, aku tak ingin melewatkan keindahan yang sama di wajah wanita berbusana merah itu.
Keindahan yang tak lekang oleh usia, di antara lagu-lagu nostalgia dan senja di Jalan Salemba.***