Lagu Lawas: Mengapa Masih Banyak yang Menyukai?


Lagu lawas membuat penggemarnya sepakat dengan satu hal: mendengarkannya akan mengingatkan mereka tentang suatu masa.

Photo by Burst on Pexels.com

Sesuatu yang kini menjadi kenangan. Bisa peristiwa yang dialami oleh orang lain, bisa juga pengalaman sendiri.

Itu bukan isapan jempol. Siapa pun yang mendengarkan suara emas Pance Pondaag, Vina Panduwinata, Broery Marantika, Iis Sugianto, Chrisye, Ebiet G. Ade, dan sederet nama tenar lainnya akan terkenang entah peristiwa apa ketika mereka masih remaja, mungkin juga anak-anak.

Tak Sekadar Kenangan

Namun, lagu lawas sebenarnya bukan hanya tentang kenangan. Memutar kembali lagu-lagu tersebut dan mencermati lirik, musik, dan video klipnya akan membuka mata kita tentang roda zaman yang terus bergerak, yang setiap penggalnya menunggu untuk dikuak.

Baca juga:
5 Lagu Jadul Paling Romantis
Mengapa Lagu Zaman Dulu Masih Enak Didengar?

Ibarat pita film sebelum tersentuh digitalisasi, lagu-lagu itu merekam bagaimana mereka yang hidup di zaman itu memaknai berbagai hal di sekitar mereka, mungkin juga di dalam diri mereka. Tentang cinta, perpisahan, pengkhianatan, kekecewaan, dan lain sebagainya.

Zaman berubah. Apa yang penting bagi orang sekarang belum tentu disikapi sama oleh mereka yang hidup di zaman dahulu. Demikian pula sesuatu yang pantas atau tidak. Coba saja lihat video klip lagu-lagu itu, jika bukan keheranan, minimal rasa penasaran akan muncul di hati kita.

Cinta, tema abadi yang diangkat dalam berbagai lagu, memiliki nilai transenden tertentu kala itu. Dulu bukan era remaja-remaja memaknai cinta dengan jalinan yang hampir sama dengan hubungan suami-istri, seperti biasa kita temui sekarang.

Gambaran Situasi

Perubahan yang lebih konkret bisa kita lihat, misalnya, dalam cara berbusana model klip lagu-lagu zaman dulu. Dalam klip lagu Pance Pondaag yang berjudul “Kucoba Hidup Sendiri”, tampak seorang model melakukan serangkaian adegan.

Sesuai lirik lagunya, model wanita tersebut beradegan bak seorang yang sedang bimbang, atau istilah populer zaman sekarang “galau”. Ia berjalan di sebuah tempat wisata, mungkin Bali atau TMII, seorang diri. Di sekelilingnya sepi, tak ada seorang pun yang terlihat.

Gadis cantik itu hanya mengenakan minidress: lengan terbuka, belahan dada terlihat, dan rok di atas lutut. Untuk alas kaki ia mengenakan sepatu boot tinggi. Meski mode busana tersebut tak mencerminkan gaya berpakaian gadis-gadis saat itu, toh klip tersebut tak dipersoalkan.

Ketika video klip tersebut masih sering ditayangkan di layar kaca, masyarakat Indonesia mungkin tak terlalu memusingkannya. Boleh jadi karena saat itu standar moral yang berlaku tak mempermasalahkannya. Selama tak ada adegan erotis, no problem.

Baca juga:
7 Lagu Lawas yang Paling Menyentuh
5 Original Soundtrack Paling Keren

Namun, bagaimana jika sekarang ada stasiun televisi yang menayangkannya? Jika bukan KPI menyurati mereka, mungkin ormas-ormas keagamaan berdemo di depan kantor mereka. Masyarakat yang menonton mungkin juga gerah, dan menganggapnya tayangan maksiat.

Apa yang sebenarnya terjadi? Zaman berubah. Banyak hal yang memengaruhi. Dalam hal ini, orientasi keberagamaan masyarakat yang semakin ketat mungkin penyebabnya. Itu bisa terjadi karena banyak faktor, salah satunya: gerakan dakwah yang massif.

Diakui atau tidak, pengaruh tersebut telah membentuk cara pandang yang baru di masyarakat. Bahwa fenomena itu muncul sebagai konsekuensi logis dari suatu peristiwa yang lain, mungkin saja. Dalam konteks Indonesia, kolapsnya Orde Baru mungkin merupakan titik mula.

Jika kita ingat, ambrolnya benteng pertahanan Orde Baru akibat meletusnya reformasi telah membuka keran berbagai corak pemikiran keagamaan. Tampilnya ormas dan orpol bercorak keagamaan merupakan gejala yang menunjukkan apa yang sekarang kita lihat di masyarakat.

Jadi, selain menjadi bahan nostalgia, lagu-lagu lawas juga menarik karena merekam sesuatu yang berbeda. Dan adanya perbedaan yang terperangkap dalam lagu-lagu itu dengan kondisi sekarang telah menyadarkan kita tentang arti sebuah perubahan.

Leave a comment